“Saya merasa seperti putri di negeri dongeng. Allah itu ada. Seperti semua yang saya minta itu dikabulkan,” kata Lusi mengawali kisahnya.
Kemudahan-kemudahan itu setidaknya telah meringankan jalannya menuju Islam. Sebab, proses menjadi mualaf perempuan kelahiran Surabaya 1 Agustus 1980 ini sungguh tidak mudah.
Seluruh keluarganya menentang. Anak kelima pasangan Maria Susiati dan JB Max Kiroyan ini tersingkir dari keluarga.
Namun, roda hidup tetaplah berputar. Tuhan menggantinya dengan cobaan. Hari-hari pilu merundung lulusan Sastra Inggris Universitas Airlangga Surabaya itu dimulai saat pernikahannya buyar.
Hak asuh dua anak hasil pernikahan pun jatuh ke tangan mantan suami.
”Saya hancur, sempat menjadi sangat miskin. Kehidupan saya yang seperti di negeri dongeng langsung lenyap. Entah saya harus berbuat apa saat itu,” ujarnya sedih mengenang masa lalunya.
Lusi nyaris tak kuasa meneruskan cerita. Matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar. Terperangkap di kerongkongan.
Gerak tubuhnya pun berubah. Tangan yang semula diam sesekali merapikan rambut yang sebenarnya tak berantakan.
Telepon genggam yang semula didiamkan, sesekali juga dia mainkan. Namun dia berusaha tetap tersenyum. Berusaha menahan air mata, agar tak terburai.
Mengakhiri Hidup
Kecewa. Marah. Sedih dan tak punya harapan lagi. Itulah rasa hati yang dia alami kala itu. Kala terbenam di jurang kehidupan.
Masa suram itu benar-benar menggores dalam di lubuk hati perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah informal International Visitor Leadership Program (IVLP) ini.
Untuk diketahui, International Visitor Leadership Program (IVLP) merupakan program pertukaran profesional yang dibiayai oleh Department of State Pemerintah Amerika Serikat
“Perasaan saya campur aduk, sempat memaki juga. Kemudian saya bicara kepada Allah, kenapa hal ini terjadi. Belum cukup salehah kah saya?” kata pendiri Lembaga Sosial Cinderella from Indonesia Center yang bertempat di Perumahan Duta Mas Trafalgar Nomor 18-B Kota Batam Kepulauan Riau.
Saking putus asa, bahkan sempat terbersit dalam benak Lusi untuk mengakhiri hidup.
“Waktu itu sekitar 2011 situasi terpuruk yang saya rasakan. Sempat ingin bunuh diri. Saya dandan sangat cantik saat itu kemudian berdiri di pinggir dermaga lautan di Batam,” ujar wanita yang berbisnis arang tempurung kelapa ini.
Beruntung, ada seseorang yang memanggil. Sehingga niatan bunuh diri itu tak terlaksana. Dan orang budiman itu menasihatinya bahwa hidup itu terlalu indah untuk dilewatkan dengan sia-sia. Orang itu pun mengaku mengaguminya. Hati Lusi pun luluh.
“Orang itu adalah sosok public figure di Batam. Kemudian saya berpikir orang besar seperti dia menganggumi saya? Padahal saya sangat kagum dengan dia. Saya berkata dalam hati jadi saya masih memiliki tempat di dunia ini,” ujar wanita yang memiliki banyak prestasi ini.
Iman Sempat Goyah
Tak hanya ingin bunuh diri. Iman Lusi juga goyah. Dia sempat berpikir untuk kembali ke agama yang dulu pernah dia peluk, sebelum masuk Islam. Rasa ingin kembali ke agama lama itu membuncah.
“Saya saat itu jadi benci Islam, saya berkata Allah kenapa begini. Jika memang saya harus kembali ke agama sebelumnya tunjukan, dan bila memang saya harus bertahan di agama-Mu, buktikan,” kata Lusi lirih.
Namun dia berusaha diam, tak bercerita kepada keluarganya. Sebab, sejak kecil dia sudah diajari untuk menjalani risiko dari setiap keputusan yang diambil.
“Masuk Islam itu keputusan saya, maka harus jalani risikonya. Saya tidak cerita dengan keluarga,” ujar dia.
“Tetapi tak lama setelah itu Allah membuktikan kalau saya memang harus bertahan di Islam,” tambah Lusi. Ya, setelah masa putus asa itu, jalan hidupnya kembali dipermudah.
Sebab, dia berkesempatan menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Sebagaimana keinginan terbesar yang selama ini dia simpan.
“Allah seperti langsung mengabulkan doaku. Aku memang ingin sekali bersekolah di sana (Amerika Serikat), akhirnya bisa merasakan ini. Seperti ditunjukan kalau Allah itu memang ada,” tutur Lusi.
Sejak itu, Lusi kembali menjalani hari-hari yang indah. Kehidupan negeri dongeng yang pernah dia alami saat awal memulai Islam didapat kembali.
“Saat di Amerika saya diperlakukan seperti putri. Kehidupan negeri dongeng pun kembali, uang saku ada, dan saya jalan keliling 13 kota di sana (Amerika Serikat),” kata dia.
“Saya banyak bertemu orang Islam di Amerika. Saya semakin diperkenalkan Islam memang indah. Ya Allah saya nangis waktu itu karena pernah marah,” tambah Lusi sambil sesekali menyeka air mata.
Setelah kembali ke Indonesia, Lusi semakin tegar. Dia bangkit dari keterpurukan. Kegiatan sosial pun mengisi hari-harinya.
“Salah satu cara saya bersyukur, tidak peduli apa yang saya lakukan tidak mendapatkan bayaran, yang penting saya bisa berguna untuk banyak orang,” ujar dia.
Pengalaman Spiritual
Pada tahun 2012, tanpa disangka, Lusi terpilih menjadi salah satu murid di Moeslem Exchange Program di Australia, mengalahkan ratusan orang dari berbagai dunia. Dengan rezeki itu, dia merasa Allah memintanya lebih dekat kepada Islam.
"Saya kaget ketika mendapat email tentang ini, saya pikir ini ngeledek atau bagaimana? Karena yang masuk ke sana itu kebanyakan dari pesantren atau yang memang Islamnya sangat kuat. Saya pun berdiskusi, lalu karena penasaran akhirnya ikut,” tutur Lusi.
Saat di Australia, Lusi bertemu banyak imam besar. “Mereka sempat heran ketika melihat saya dari Indonesia tetapi kok tidak pakai hijab (jilbab). Kemudian saya cerita kalau saya mualaf dan sempat benci Islam. Saya curhat waktu itu,” tutur Lusi sambil mengerenyitkan dahi.
Dan jawaban imam besar tersebut membuat Lusi terperangah. Mulanya dia menyangka imam besar itu akan marah dengan ceritanya. Namun sebaliknya.
“Biasanya kalau di Indonesia saya bicara yang beda pendapat soal Islam, mereka marah. Tetapi kalau di luar negeri, bicara dengan imam besar, mereka sangat menghargai,” kata dia.
“Saya terkejut ketika justru mereka semakin memperlakukan saya sebagai putri dan menunjukan kalau Islam itu indah, lagi-lagi Allah bicara,” katanya. Sehingga dia merasa lebih nyaman belajar Islam di luar Indonesia.
“Saya melihat keindahan keluarga Islam itu di Amerika, begitu indah Happily Ever After, di Australia juga melihat Islam memang indah. Dan saya lagi-lagi bersyukur dan makin mantap untuk memeluk dan mencintai Allah,” ungkap dia.
Sukses Berbisnis
Berparas cantik, murah senyum serta berjiwa sosial tinggi membuat wanita asal Surabaya Jawa Timur ini dicintai banyak orang, khususnya kaum marjinal.
Mulai dari anak-anak jalanan hingga wanita pekerja seks komersil (PSK) tak sungkan dirangkul oleh petani arang tempurung kelapa dan pembina Usaha Kecil Menengah (UKM) ini.
Sosoknya begitu menginspirasi. Berkat kegigihan dan keuletannya, arang tempurung kelapa bisa dia ubah menjadi ’emas hitam’.
Hebatnya, wanita yang menjadi mualaf sejak 2003 ini terjun langsung membersihkan tempurung kelapa. Mulai dari serabut-serabutnya untuk kemudian dijadikan arang.
“Jangan malu untuk memulai sesuatu dari bawah,” ujar Lusia.
Berawal dari emas hitam inilah kehidupan wanita kelahiran Surabaya 1 Agustus 1980 mengalir hingga ke Batam, Kepulauan Riau.
Menyadari bukan berasal dari keluarga berada, Lusi gigih menekuni setiap pekerjaan yang dijalaninya. Kehidupan masa remajanya bisa dibilang penuh dengan perjuangan.
Anak kelima pasangan Maria Susiati dan J. B. Max Kiroyan ini, sejak semester pertama kuliah sudah nyambi bekerja paruh waktu sebagai guru sempoa dan bahasa Inggris.
Lulus kuliah, Lusi menikah. Suaminya, saat itu mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan elektronik di Batam. Berawal dari sinilah hidupnya bergerak dari Surabaya ke Batam.
Sebagai keluarga muda yang perlu dukungan finansial, Lusi bekerja di rumah sakit ternama di Batam untuk menambah keuangan keluarga. Namun tak seberapa lama dia harus mengundurkan diri karena hamil.
Setelah melahirkan Nailah Parahita Putri Prayogo dan Muhammad Abstrax Danendra Putra Prayogo, ibu dua anak ini hanya menghabiskan waktunya dengan membuka usaha kecil-kecilan.
Mulai dari wartel, menjadi distributor pulsa, membuka usaha travel dan biro perjalanan, membuka usaha percetakan serta berbagai usaha lainnya. Sayang, semua usaha yang dirintis itu berakhir dengan kegagalan.
“Aku selalu berusaha keras dan menikmati semua pekerjaan walaupun itu gagal. Kita tidak akan bangkit kalau tidak merasakan jatuh, belajarlah dari kegagalan dan bergurulah dari keberhasilan,” kata wanita lulusan Sastra Inggris Universitas Airlangga Surabaya ini.
Dengan bermodalkan sekitar Rp 30 juta rupiah dari koceknya sendiri, Lusi melihat peluang di bisnis tempurung kelapa sangatlah cemerlang.
Arang tempurung kelapa ternyata bisa diekspor ke berbagai negara dan menjadi komoditas bisnis sangat tinggi di berbagai negara, karena digunakan sebagai bahan industri, farmasi, dan lainnya.
Meski prospeknya bagus, namun Lusi mengaku mengalami banyak kendala untuk memproduksi arang tempurung kelapa. Salah satunya, bahan baku tempurung kelapa masih terpencar-pencar di pasar-pasar tradisional.
“Modal awal usaha sendiri, bisnis itu tidak selamanya berjalan mulus. Untuk sekarang ini saja terlalu sulit mencari bahan baku. Bisnisku bisa dibilang belum bisa berkembang besar,” ujar wanita lulusan International Visitor Leadership Program (IVLP), California, Amerika Serikat ini.
Saat memulai bisnisnya ini ia juga pernah diminta Bapedal Batam untuk menutup usaha pembuatan arang tempurung kelapa karena asapnya mencemari udara.
Tetapi setelah Lusi menjelaskan usaha arang tempurung kelapa ini melibatkan banyak tenaga kerja dari kalangan orang-orang marjinal, Bapedal mengurungkan niatnya untuk menutup usahanya.
Hingga saat ini Lusi masih memproduksi arang tempurung kelapa untuk mensuplai ke PT. General Carbon Industry yang memiliki kontrak ekspor ke berbagai negara.
Selain arang tempurung kelapa yang memiliki nilai ekonomis tinggi, ternyata pengolahan asapnya juga menghasilkan liquid smoke.
Produk ini memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dan banyak diperlukan di berbagai negara maju sebagai pengganti formalin, pengental karet, sebagai bahan pembunuh hama dan pengganti insektisida. Permintaan liquid smoke, dari Hongkong, Jepang, dan negara maju Asia lainnya.
“Akhirnya ketemu juga solusinya. Produk liquid smoke ternyata banyak dibutuhkan di pasar dunia,” ujarnya.
Kedepannya, Lusi memiliki keinginan menyinergikan potensi arang tempurung kelapa yang ada di seluruh provinsi Indonesia.
“Peluang usaha pembuatan arang tempurung kelapa ini berpotensi mengangkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang biasanya berada di sentra-sentra penghasil kelapa dan sebagian besar masih miskin.”
Sukses menjadi juragan arang tempurung kepala tak lantas membuat Lusia Efriani Kiroyan tinggi hati. Wanita yang dijuluki ‘Cinderella from Indonesia’ justru menjadi sahabat buat kaum marjinal.
Ia dikenal memiliki jiwa sosial tinggi. Itu menurun dari sang ibunda. “Ini turun temurun dari nenek dan mamaku. Masa kecilku di Surabaya terbiasa dengan kegiatan sosial,” ujar Lusi.
Ia masih ingat betul ketika sang bunda gemar membantu gelandangan di jalan, untuk dibawa ke rumahnya yang sempit.
Gelandangan itu dimandikan, kemudian diberi makan, hingga beberapa hari lamanya.
Lusia mengaku sempat memprotes. Namun setelah diberikan pengertian oleh ibunya, dia mulai memahami jika itu bentuk kepedulian kepada sesama.
Kenangan itulah yang membuat Lusi mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan sosial. Lusi memiliki rumah belajar yang diberi nama Cinderella from Indonesia Center di kawasan Duta Mas, Batam Center.
Nama rumah singgah itu diambilnya dari judul buku yang ia tulis sepulang belajar dari Amerika Serikat.
Rumah belajar ini sasarannya melatih dan menumbuhkan kewirausahaan sejak dini untuk anak-anak panti asuhan, para single parent yang tidak mampu, anak jalanan dan para penyandang cacat tubuh.
Awalnya Lusia mengkhususnya untuk single parent, namun kini ia merangkul hampir semua golongan.
“Tujuannya, biar ibu-ibunya saja yang bekerja. Anaknya jangan sampai turun ke jalan mencari makan,” kata wanita yang terlibat di World Muslimah Award 2014 sebagai sponsor boneka versi hijab.
Ibu-ibu itu diberi pelatihan seperti membuat roti, cupcake, cokelat batik, es, dan boneka. Sementara, anak jalanannya diberi pelatihan seperti bahasa Inggris dan sebagainya.
Selain sibuk di lembaganya tersebut, Lusia juga memberdayakan para narapidana wanita di tiga rumah tahanan Batam dan Jakarta.
Awalnya, Lusia suka menjenguk narapidana perempuan di Lapas dan Rutan Batam sambil memotivasi mereka, sejak 2012.
Lama-lama, Lusi ingin mengajak mereka berbuat agar mandiri. Maka, dia mengajak para napi itu membuat baju batik untuk boneka ala barbie (batik girl). Lusia turun sendiri mengajari para napi membuat bonela batik girl.
Mengenakan atasan putih polos serta celana bahan bewarna abu-abu, Lusia menemui sekitar 40 narapidana wanita yang sudah sibuk di ruangan khusus untuk mengerjakan batik girl.
“Ada sekitar 40 di program batik girl ini, targetnya selama tiga bulan mereka menghasilkan sekitar 300 boneka barbie yang menggunakan baju batik dan tak lupa membawa angklung,” kata Lusi.
Keramahan wanita ini disambut baik para narapidana yang serius dengan jahitan mereka, Lusi juga tak sungkan menjadi tempat curhat mereka.
Bermodalkan kain perca, jarum jahit, benang dan lem perekat, para narapidana begitu piawai mengubah barbie menjadi cantik dengan busana batik hasil kreasinya.
“Saya merekrut pelatih untuk melatih para napi selama 3 hari sebelum membuat baju boneka,” imbuhnya.
Lusi mengatakan setiap baju satu boneka yang dibuat narapidana akan dihargai sekitar Rp 10.000. Untuk bonekanya sendiri, Lusi masih mengimpor dari China.
Kemudian dipakaikan baju batik, dikemas dan dijual dengan merek “Batik Girl” seharga Rp 100 ribu di Indonesia dan Rp 150 ribu di Malaysia dan Singapura.
Bisnis ini dimulai sekitar 2013. Berawal saat Lusi mendapatkan dana hibah US dollar 19.483 dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat atas proposalnya memproduksi boneka seperti barbie, namun berbaju batik untuk memberdayakan napi perempuan.
Dilempar Makhluk Gaib di Depan Ka'bah
Sebagai tanda syukur, Lusi pun memutuskan untuk berangkat umrah. Dan keinginan tersebut tidak ditempuh dengan mudah.
“Sempat masalah di visa, waktu itu saya nangis dan berkata ya Allah kenapa mau ke tempat-Mu sulit sekali. Saya kalau ke luar negeri sapertinya mudah,” tuturnya.
“Visa sudah jadi, namun saya tidak memiliki uang. Duh, kayanya kok ada aja cobaannya. Tetapi saat itu juga tanpa disangka rezeki langsung datang. Ya Allah mungkin ini memang sudah panggilan-Mu, akhirnya jadi berangkat,” tambah dia.
Pengalaman spiritual pun dialami Lusi saat berada di Tanah Suci.
“Saat ingin mencium Ka’bah kan dorong-dorongan tuh, saya berpikir ya Allah masa mau cium Ka’bah harus saling menyakiti dorong-dorong begini.
Saya pun tidak maju lebih memberikan jalan kepada orang lain. Namun ternyata ada orang Arab yang tiba-tiba seperti melempar saya hingga sampai ke depan Ka’bah persis, saat mau bilang thank you, dia hilang,” ujar dia.
Saat mencium Hajar Aswad, tangis Lusi pun pecah. “Saya mencium dan menangis sejadi-jadinya. Saya ingat dosa saya begitu banyak, terlebih sempat marah kepada-Nya. Saya mohon ampun, dan meminta untuk kelancaran hidup dan rezeki dan diberikan kesehatan agar bisa terus bermanfaat untuk orang sekitar,” ujar Lusi dengan penuh haru.