Saturday, Oct 05

Ramadan Ke-30: Selamat Idul Fitri! Semoga Allah Menerima Amal Kita Featured

Ramadan Ke-30: Selamat Idul Fitri! Semoga Allah Menerima Amal Kita Ramadan Ke-30: Selamat Idul Fitri! Semoga Allah Menerima Amal Kita

Lebaran 1 Syawal 1444 Hijriah merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia setelah berpuasa Ramadan selama satu bulan.

Hari yang penuh dengan sukacita dan kedamaian. Umat Islam diperbolehkan makan dan minum sesudah fajar sampai tenggelamnya matahari.

“Ied” menurut Bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali berulang-ulang. Baik dari sisi waktu atau tempatnya. ‘Ied berasal dari kata “Al ‘Aud” yang berarti kembali dan berulang.

Dinamakan “Al ‘Ied/Al ‘Aud” karena pada hari tersebut Allah Subhanahu Wa Ta‘ala memberikan kebaikan untuk hamba-hambaNya.

Yakni bolehnya makan dan minum setelah sebulan dilarang darinya, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thawaf, penyembelihan daging kurban, dan sebagainya.

Di kalangan masyarakat Indonesia makna “Iedul Fitri” sering dimaknai kembali kepada fitrah (suci) karena dosa-dosa kita telah terhapus.

Hal ini kurang tepat, baik secara tinjauan bahasa maupun istilah syariat. Kesalahan dari sisi bahasa, apabila makna “Iedul Fitri” demikian. Seharusnya namanya “Iedul Fithroh” bukan “Iedul Fitri”.

Ada pun dari sisi syariat terdapat hadis yang menerangkan bahwa Iedul Fitri adalah hari di mana umat Islam kembali berbuka puasa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata:

“Bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda: Puasa itu adalah hari di mana kalian berpuasa, dan (‘Iedul Fitri) adalah hari di mana kamu sekalian berbuka” (HR. Tirmidzi | HR. Abu Dawud).

Hari raya tahunan yang dimiliki umat Islam di seluruh dunia hanya ada dua. Yakni ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha. Adakah hari raya selain itu? Jawabannya tidak ada.

Karena syariat hari raya merupakan hak khusus dari Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Suatu hari dikatakan hari raya apabila Allah menetapkan bahwa hari tersebut adalah hari raya (‘Ied).

Jika tidak, umat Islam tidak diperkenankan merayakan atau memeringati hari tersebut. Alasannya hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa beliau berkata:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang ke Madinah dan (pada saat itu) penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang dipergunakan untuk bermain (dengan permainan) di masa jahiliyyah. Lalu beliau bersabda: Aku telah datang kepada kalian, dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu, yakni hari Nahr (‘Iedul Adha) dan hari fitri (‘Iedul Fitri)” (HR. Ahmad | HR. Abu Dawud).

Zaman dulu, ada dua hari raya yang dimiliki penduduk kota Madinah Arab Saudi saat itu. Yakni hari Nairuz dan Mihrojan, yang dirayakan dengan berbagai macam permainan.

Kedua hari raya ini ditetapkan oleh orang-orang yang bijak pada zaman tersebut karena cuaca dan waktu pada saat itu sangat tepat atau bagus.

Tatkala Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membawa risalah Islam, Allah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari raya yang Allah pilih untuk hamba-hamba-Nya.

Sejak saat itu, dua hari raya yang lama (Nairuz dan Mihrojan) tidak diperingati lagi. Berdasarkan hal ini, pensyariatan hari raya adalah tauqifiyyah (sesuai dengan perintah Allah).

Seseorang tidak diperbolehkan menetapkan hari tertentu untuk perayaan atau peringatan kecuali memang ada dalil yang benar dari Allah (Al Qur‘an) dan hadis.

Perayaan ‘Iedul Fitri maupun ‘Iedul Adha merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Dan ibadah tidak terlepas dari dua hal, yang semestinya harus ada, yaitu;

a. Ikhlas (tulus) ditujukan kepada untuk Allah semata
b. Sesuai tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Ada beberapa hal yang dituntunkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait pelaksanaan hari raya, di antaranya;

Umat Islam dianjurkan mandi sebelum salat ‘Ied. Sebab bersuci dengan mandi saat hari raya diharapkan bersih dan wangi. Mengingat sebelum salat ‘Ied akan berkumpul dengan banyak manusia.

Namun, apabila hanya berwudhu saja, itu pun juga sah. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang artinya;

“Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat ‘Iedul Fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk salat (HR. Malik).

Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib hal-hal yang disunahkan saat ‘Iedul Fitri di antaranya ada tiga;

a. Berjalan menuju tanah lapang
b. Sebelum salat ‘Ied mandi dulu
c. Makan sebelum salat ‘Iedul Fitri
d. Memperindah/berhias, wewangian
e. Berbeda jalan saat pergi ke tanah lapang dan sepulang darinya

Disunahkan mengambil jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang. Ini berdasarkan hadis dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membedakan jalan (saat berangkat dan pulang) saat ‘Iedul Fitri” (HR. Bukhari).

Hikmah berangkat dan pulang dengan dua jalan yang berbeda banyak sekali. Di antaranya, salah satunya agar dapat memberi salam pada orang yang ditemui di jalan.

Selain itu dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di jalan dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. Disunahkan juga bertakbir saat berjalan menuju tanah lapang.

Diperbolehkan saling mengucapkan selamat tatkala “Iedul Fitri” sudah terlaksana dengan perkataan “taqobbalalloohu minnaa wa minkum” (artinya: semoga Allah menerima amal kita dan amal kalian) atau dengan a’aadahulloohu ‘alainaa wa ‘alaika bil khoiroot war rohmah” (semoga Allah membalasnya bagi kita dan kalian dengan kebaikan dan rahmat).

Jika hari raya ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha bertepatan dengan hari Jumat, maka gugurlah kewajiban salat Jumat bagi orang yang sudah melaksanakan salat ‘Ied.

Meski demikian Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) setempat hendaknya tetap menyelenggarakan salat Jumat. Tujuannya orang yang ingin salat Jumat bisa terakomodasi dan orang-orang yang belum mengerjakan salat ‘Ied pagi harinya bisa Jumatan.

Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum salat ‘Ied adalah wajib bagi setiap muslim. Baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim.

Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kepada kami pada saat salat ‘Ied (Idul Fithri atau Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat salat” (HR. Muslim No. 890).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan umat Islam untuk keluar rumah agar menunaikan salat ‘Ied menunjukkan perintah salat ‘Ied orang yang tidak punya uzur (alasan).

Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju salat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya salat otomatis juga menjadi wajib.

Ada perintah dalam Al Qur‘an yang menunjukkan wajibnya salat ‘Ied sesuai dengan firman Allah;

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya:

“Dirikanlah salat dan berqurbanlah (An Nahr)” (QS. Al Kautsar 2).

Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan salat ‘Ied. Selanjutnya kewajiban salat Jumat menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan salat ‘Ied jika kedua salat tersebut bertemu pada hari ‘Ied.

Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika salat Jumat itu wajib maka demikian halnya dengan salat ‘Ied.

Kemudian tempat pelaksanaan salat ‘Ied lebih utama (afdhol) dilakukan di tanah yang lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan.

Abu Sa’id Al Khudri mengatakan;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa keluar pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha menuju tanah lapang” (HR. Bukhari No. 956 | HR. Muslim No. 889).

Imam An Nawawi mengatakan hadis Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa salat ‘Ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang.

Ini lebih utama daripada salat ‘Ied di masjid. Adapun penduduk kota Makkah Arab Saudi, maka sejak masa silam salat ‘Ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.

Makan sebelum keluar menuju salat ‘Ied khusus untuk salat ‘Idul Fithri. Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa berangkat salat ‘Ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari salat ‘Ied baru beliau menyantap hasil qurbannya” (HR. Ahmad 5/352).

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat salat ‘Iedul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa (Ramadan).

Sedangkan untuk salat ‘Iedul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging kurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah salat ‘Ied.

Bertakbir ketika keluar hendak salat ‘Ied, dalam suatu riwayat disebutkan;

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa keluar hendak salat pada hari raya ‘Iedul Fithri lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai salat hendak dilaksanakan. Ketika salat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir”.

Cara Salat ‘Ied

Jumlah rekaat salat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha adalah dua rekaat. Ada pun tata caranya adalah sebagai berikut;

1. Memulai dengan takbiratul ihram seperti salat-salat lainnya
2. Kemudian bertakbir sebanyak tujuh kali, yakni takbir selain takbiratul ihram sebelum memulai membaca surat Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar sebab Ibnu ‘Umar dikenal sangat meneladani Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yan biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir
3. Di sela-sela takbir-takbir tidak ada bacaan zikir tertentu, namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa dia mengatakan: “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah;

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha Suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku)”

Walau demikian, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan di atas itu saja, boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi puji-pujian kepada Allah.

4. Setelah takbir tujuh kali membaca surat Al Fatihah dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Biasanya, surat yang dibaca Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah surat Qaaf pada rekaat pertama dan surat Al Qomar pada rekaat kedua. Sebagaimana riwayat;

كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa membaca Qaaf, wal qur’anil majiid/surat Qaaf dan iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar/surat Al Qomar” (HR. Muslim No. 891).

Boleh juga membaca surat Al A’la pada rekaat pertama dan surat Al Ghosiyah pada rekaat kedua. Dan jika hari ‘Ied jatuh pada hari Jumat dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada rekaat pertama dan surat Al Ghosiyah pada rekaat kedua. Bacaan ini berlaku pada salat ‘Ied maupun salat Jum’at.

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa membaca dalam salat ‘Ied maupun salat Jumat ‘sabbihisma robbikal a’la (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah). An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu juga ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jumat, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing salat” (HR. Muslim No. 878).

5. Setelah membaca surat kemudian melakukan gerakan salat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dan seterusnya)
6. Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan rekaat kedua
7. Bertakbir pada rekaat kedua sebanyak lima kali takbir sebelum memulai membaca Al Fatihah sampai seterusnya dan salam

Khutbah Setelah Salat ‘Ied

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

Artinya:

“Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan salat ‘ied sebelum khutbah” (HR. Bukhari No. 963 | HR. Muslim No. 888).

Usai melaksanakan salat ‘Ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘Ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah salat Jum’at).

Waktu itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar. Beliau memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah).

Khusus jemaah, mereka boleh memilih mengikuti khutbah ‘Ied atau tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa’ib, dia berkata bahwa ia pernah menghadiri salat ‘Ied bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tatkala beliau selesai menunaikan salat, beliau bersabda;

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

Artinya:

“Aku (saat ini) akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi” (HR. Abu Daud No. 1155 | HR. Ibnu Majah No. 1290).

Semoga seluruh amal kita selama Ramadan 1444 Hijriah diterima Allah, aamiin. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah. Semoga Allah menerima amalmu dan amalku. Semoga sehat, bahagia, dan sejahtera menyertai kita sepanjang usia.

Tags
Bekam Batam Bengkel Manusia Indonesia - An Nubuwwah Batam

Pengobatan Diabetes, Jantung, Ginjal, Stroke, Asam Urat, Darah Rendah, Darah Tinggi, Migren, Vertigo, Kelumpuhan Wajah (Bell’s Palsy), Spondylosis Serviks, Anemia, Hemofilia, Rheumatoid Arthritis, Gangguan Kesuburan, Nyeri Leher, Nyeri Bahu, Nyeri Punggung, Nyeri Lutut, Kecemasan, Depresi, Halusinasi, Ilusi, Wahm, Gangguan Pencernaan, dan Medis Lainnya | Termasuk Pengobatan Non Medis Akibat Gangguan Iblis, Jin, Setan, Al ’Ain, Sihir (Black Magic), Pengeluaran: Susuk, Jimat, Rajah, Mantra-mantra, Pembersihan dan Pemagaran Rumah, Rumah Toko (Ruko), Kantor, Pabrik, Lapangan, Pesawat, Kereta Api, Kapal, dan Non Medis Lainnya Klik: www.ruqyah.or.id | Klik: Daftar Pasien Online | Call (+62) 813-2871-2147 Email: info[at]bekam.or.id | Office: Town House Anggrek Sari Blok G-2 Kel. Taman Baloi Kec. Batam Kota, Batam, Indonesia | Branch Head: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Seluruh Wilayah Indonesia | Overseas: Bekam & Ruqyah Singapura: https://wetcuppingsingapore.com/ Melayani Panggilan Antarkota, Dalam & Luar Provinsi, Luar Negeri | Baca Ulasan: Bekam Jarum Menyelisihi Dalil | Di Sini Penjelasan: Bekam Itu Sayatan dan Bukan Tusukan | Kata Mereka Setelah Bekam dan Ruqyah di Bengkel Manusia Indonesia: https://bekam.or.id/kata-mereka.html  | Ingin menyalurkan zakat malhadiahinfaksedekahhibahnazarriba, dam atau selainnya, Anda bisa menitipkannya melalui rekening Yayasan An Nubuwwah Batam Norek BSI 8122-888-216 a/n An Nubuwwah Batam atau BCA 579-0159-154

Map Location