Salah satu yang sering diucapkan adalah mengatakan “ah” “ih” “cis” “hus” “ah” “uff” atau kata-kata yang sangat tidak sopan kepada orang tuanya. Termasuk membentak dan meninggikan suara kepada orang tua.
Berkata tidak baik saja sudah termasuk pembangkangan dan tidak menghargai (menghormati) orang tuanya. Apalagi sampai menampar, memukul, menendang, melempar sesuatu dan sikap kasar (tercela) selainnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al Isra’ 23).
Maksud berkata “uff” (ahh) dalam ayat di atas menurut Ibnu Jarir Ath Thabari bahwa segala bentuk perkataan keras dan perkataan jelek (kepada orang tua).
Sedangkan Imam Ibnu katsir Rahimahullah menegaskan jangan berkata “uff” (ahh) yang dimaksud adalah seringan-ringannya perkataan jelek.
Maka dari itu, Islam melarang (haram) anak-anak menyakiti orang tuanya walaupun hanya dengan hal-hal dianggap ringan (remeh). Berkata “uff” (ahh) atau “uff” yang kelihatannya ringan termasuk menyakiti perasaan orang tua dan perbuatan durhaka (‘uququl walidain).
Imam Nawawi Rahimahulullah dalam kitab Al Minhaj Shahih Muslim berkata: “uququl walidain” atau durhaka kepada orang tua adalah segala bentuk perkataan dan perbuatan yang menyakiti orang tua.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِم
Artinya;
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al‘Ashr Radhiyallahu ‘Anhuma, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Keridaan Allah tergantung pada rida orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. Tirmidzi No. 1899 | HR. Ibnu Hibban 2:172 | HR. Al Hakim 4:151-152).
Hadis ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada orang tua dan mencari rida keduanya serta membuat mereka senang (bahagia). Karena rida dan kecintaan Allah itu datang karena keridaan orang tua dan murka Allah itu datang karena murka orang tua.
Siapa yang berbuat baik pada orang tua, maka ia telah menaati Allah. Siapa yang berbuat jelek (jahat) pada orang tua, berarti ia telah membuat Allah murka.
Hadis ini menjadi dalil wajibnya berbakti pada orang tua dan diharamkan durhaka kepada mereka. Rida orang tua didapat dengan berbakti, berbuat baik, dan bersikap lemah lembut kepada mereka.
Wujud dan bentuk berbuat baik pada orang tua adalah tidak mencela dan menghardik mereka ketika mereka sudah berada di usia senja.
Di antara bentuk bakti adalah menuruti apa yang orang tua inginkan selama bukan berbuat maksiat (dosa). Ibu lebih didahulukan dalam berbakti dibandingkan ayah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata;
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْذِنُهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ « أَحَىٌّ وَالِدَاكَ » قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ»
Artinya;
“Ada seseorang yang mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ia ingin meminta izin untuk berjihad. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lantas bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Ia menjawab: ‘Iya masih.’ Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun bersabda: ‘Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya (orang tua)’” (HR. Muslim No. 2549).
Dalam riwayat yang lain disebutkan;
فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
Artinya:
“Kembalilah kepada kedua orang tuamu, berbuat baiklah kepada keduanya” (HR. Muslim No. 2549).
Imam Nawawi Rahimahullah menerangkan bahwa semua itu adalah dalil betapa agungnya keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua lebih utama dibandingkan berjihad.
Hal ini menjadi dalil bahwa tidak boleh seseorang pergi berjihad kecuali setelah mendapatkan izin dari keduanya apabila keduanya muslim atau salah satunya muslim.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam;
مَا هَذَا مِنْكَ ؟ فَقَالَ: أَبِي. فَقالَ: ” لاَ تُسَمِّهِ بِاسْمِهِ، وَلاَ تَمْشِ أَمَامَهُ، وَلاَ تَجْلِسْ قَبْلَهُ
Artinya:
“Apa hubungan dia denganmu?” Orang itu menjawab: “Dia ayahku.” Abu Hurairah lalu berkata: “Janganlah engkau memanggil ayahmu dengan namanya saja, janganlah berjalan di hadapannya dan janganlah duduk sebelum ia duduk” (HR. Bukhari dalam kitab Adab Al Mufrad).
Kisah Juraij Didoakan Jelek Ibunya
Ada sebuah kisah menarik yang bisa diambil pelajaran akan ampuhnya doa jelek seorang ibu kepada anaknya, yakni pada kisah Juraij.
Setelah membaca tulisan ini, maka kita selaku anak harus berobat, meminta maaf, berbakti, dan segera memuliakan kedua orang tuanya.
Jangan sampai membuat orang tuanya marah, benci dan sakit hati. Terlebih sampai keluar kata-kata, umpatan, dendam atau doa jelek yang bisa mencelakakan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
مَا تَكَلَّمَ مَوْلُوْدٌ مِنَ النَّاسِ فِي مَهْدٍ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ [وَسَلَّمَ] وَصَاحِبُ جُرِيْجٍ” قِيْلَ: يَا نَبِيَّ اللهِ! وَمَا صَاحِبُ جُرَيْجٍ؟ قَالَ: “فَإِنَّ جُرَيْجًا كَانَ رَجُلاً رَاهِباً فِي صَوْمَعَةٍ لَهُ، وَكَانَ رَاعِيُ بَقَرٍ يَأْوِي إِلَى أَسْفَلِ صَوْمَعَتِهِ، وَكَانَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْقَرْيَةِ تَخْتَلِفُ إِلَى الرَّاعِي، فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًٍا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ – وَهُوَ يُصَلِّي – أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ. ثُمَّ انْصَرَفَتْ فَأُتِيَ الْمَلِكُ بِتِلْكَ الْمَرْأَةِ وَلَدَتْ. فَقَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَتْ: مِنْ جُرَيْجٍ. قَالَ: أَصَاحِبُ الصَّوْمَعَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: اِهْدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَأْتُوْنِي بِهِ، فَضَرَبُوْا صَوْمَعَتَهُ بِالْفُئُوْسِ، حَتىَّ وَقَعَتْ. فَجَعَلُوْا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ بِحَبْلٍ؛ ثُمَّ انْطَلَقَ بِهِ، فَمَرَّ بِهِ عَلَى الْمُوْمِسَاتِ، فَرَآهُنَّ فَتَبَسَّمَ، وَهُنَّ يَنْظُرْنَ إِلَيْهِ فِي النَّاسِ. فَقَالَ الْمَلِكُ: مَا تَزْعُمُ هَذِهِ؟ قَالَ: مَا تَزْعُمُ؟ قَالَ: تَزْعُمُ أَنَّ وَلَدَهَا مِنْكَ. قَالَ: أَنْتِ تَزْعَمِيْنَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَيْنَ هَذَا الصَّغِيْرُ؟ قَالُوْا: هَذَا فِي حُجْرِهَا، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ. فَقَالَ: مَنْ أَبُوْكَ؟ قَالَ: رَاعِي الْبَقَرِ. قَالَ الْمَلِكُ: أَنَجْعَلُ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: مِنْ فِضَّةٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَمَا نَجْعَلُهَا؟ قَالَ: رَدُّوْهَا كَمَا كَانَتْ. قَالَ: فَمَا الَّذِي تَبَسَّمْتَ؟ قَالَ: أَمْراً عَرَفْتُهُ، أَدْرَكَتْنِى دَعْوَةُ أُمِّي، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ
Artinya;
“Tidak ada bayi yang dapat berbicara dalam buaian kecuali Isa bin Maryam dan (bayi di masa) Juraij”. Lalu ada yang bertanya: ”Wahai Rasulullah siapakah Juraij?” Beliau lalu bersabda: ”Juraij adalah seorang rahib yang berdiam diri pada rumah peribadatannya (yang terletak di dataran tinggi atau pegunungan). Terdapat seorang penggembala yang menggembalakan sapinya di lereng gunung tempat peribadatannya, dan seorang wanita dari sebuah desa menemui penggembala itu (untuk berbuat mesum dengannya).
(Suatu ketika) datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan salat: ”Wahai Juraij.” Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan salatku?” Rupanya Juraij mengutamakan salatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hati: ”Ibuku atau salatku?” Rupanya dia mengutamakan salatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya: ”lbuku atau salatku?”
Rupanya dia tetap mengutamakan salatnya. Ketika sudah tidak menjawab (menyahut) panggilan, ibunya berkata: “Semoga Allah tidak mewafatkanmu wahai Juraij sampai wajahmu dipertontonkan di depan para pelacur.” Lalu ibunya pun pergi meninggalkannya.
Wanita yang menemui penggembala tadi dibawa menghadap raja dalam keadaan telah melahirkan seorang anak. Raja itu bertanya kepada wanita tersebut: ”Hasil dari hubungan dengan siapa (anak ini)?” “Dari Juraij”, jawab wanita itu. Raja lalu bertanya lagi: “Apakah dia yang tinggal di tempat peribadatan itu?” “Benar”, jawab wanita itu. Raja berkata: ”Hancurkan rumah peribadatannya dan bawa dia kemari.”
Orang-orang lalu menghancurkan tempat peribadatannya dengan kapak sampai rata dan mengikatkan tangannya di lehernya dengan tali lalu membawanya menghadap raja. Di tengah perjalanan Juraij dilewatkan di hadapan para pelacur. Ketika melihatnya Juraij tersenyum dan para pelacur tersebut melihat Juraij yang berada di antara manusia. Raja lalu bertanya padanya: “Siapa ini menurutmu?” Juraij balik bertanya: “Siapa yang engkau maksud?” Raja berkata: “Dia (wanita tadi) berkata bahwa anaknya adalah hasil hubungan denganmu.”
Juraij bertanya: “Apakah engkau telah berkata begitu?” “Benar”, jawab wanita itu. Juraij lalu bertanya: ”Di mana bayi itu?” Orang-orang lalu menjawab, “(Itu) di pangkuan ibunya.” Juraij lalu menemuinya dan bertanya pada bayi itu: ”Siapa ayahmu?” Bayi itu menjawab: “Ayahku si penggembala sapi.” Kontan Sang Raja berkata: “Apakah perlu kami bangun kembali rumah ibadahmu dengan bahan dari emas?” Juraij menjawab, “Tidak perlu”. “Ataukah dari perak?” lanjut sang raja. “Jangan”, jawab Juraij.
“Lalu dari apa kami akan bangun rumah ibadahmu?”, tanya sang raja. Juraij menjawab, “Bangunlah seperti sedia kala.” Raja lalu bertanya: “Mengapa engkau tersenyum?” Juraij menjawab: “(Saya tertawa) karena suatu perkara yang telah aku ketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku.” Kemudian Juraij pun memberitahukan hal itu kepada mereka.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod, dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Al Anbiyaa Bab ”Wadzkur fil kitabi Maryam” dan Muslim dalam kitab Al Birr Wash Shilah Wal Adab).
Dari hadis yang panjang di atas menunjukkan keutamaan orang berilmu dibandingkan ahli ibadah. Seandainya Juraij seorang alim (berilmu) maka dia akan lebih memilih untuk menjawab panggilan ibunya dibanding melanjutkan salatnya.
Seorang anak harus berhati-hati dengan kemarahan orang tuanya. Karena jika ia sampai membuat orang tua marah dan orang tua mendoakan jelek, maka itu adalah doa yang mudah diijabahi. Lihat kisah Juraij di atas, dia tahu akan hal itu, sehingga membuatnya tersenyum.
Bukti doa jelek dari ibu terkabul karena Juraij akhirnya dipertontonkan di hadapan wanita pelacur sebagaimana doa ibunya. Berbakti pada orang tua adalah akhlak paling mulia, terlebih berbakti pada sang ibu.
Juraij menunjukkan sikap yang benar ketika menghadapi masalah, yakni harus yakin akan pertolongan Allah. Sikap zuhud (sederhana) Juraij karena hanya meminta tempat ibadahnya dibangun seperti sedia kala. Ia tidak minta diganti dengan emas atau perak.
Ketika musibah menimpa, barulah seseorang ingat akan dosa-dosanya. Ada juga yang mengingat akan doa jelek yang menimpa dirinya seperti dalam kisah Juraij ini. Berbakti pada orang tua adalah wajib, termasuk memenuhi panggilannya.
Sedangkan salat sunah hukumnya sunah yang hukumnya berada di bawah berbakti pada orang tua yang merupakan hal wajib. Doa ibu Juraij tidak berlebihan, dia hanya mendoakan agar Juraij dipertontonkan di hadapan para pelacur, tidak lebih dari itu.
Tawakkal (pasrah setelah berusaha maksimal) dan rasa yakin yang kuat pada Allah akan membuat seseorang keluar dari musibah (masalah). Allah selalu memberikan jalan keluar (jalan kemudahan) bagi para wali-Nya dalam kesulitan mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ
Artinya:
“Rida Allah ada pada rida kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua” (HR. Tirmidzi | HR. Ibnu Hibban | HR. Hakim).
(Dari keseluruhan riwayat hadis dapat disimpulkan bahwa Juraij adalah salah seorang ahli ibadah yang saleh di kalangan Bani Israil. Awal mulanya dia adalah seorang pedagang, kemudian dia meninggalkan perdagangannya dan cenderung kepada ibadah. Dia membangun tempat untuk beribadah kepada Allah di dalamnya)