Ada Zain Abidin dari Nahawand, empat puluh tahun, seorang Darwis Persia, sufi. Najib Rahmi, tiga puluh tahun seoarang terpelajar Lebanon. Aminah Divina, usia tak diketahui, berbakat meramal dan misterius, di sekitar daerahnya dikenal sebagai Houri dari lembah.
Ketika layar terbuka, Zain Abidin tampak sedang menyandarkan kepala pada sebelah tangan, di bawah pepohonan, dan sebelah tangan yang lain dengan tongkat panjangnya, menggoreskan lingkaran-lingkaran di atas tanah.
Najib Rahmi mengendarai kuda memasuki tempat terbuka itu beberapa saat kemudian. Dia turun dari kudanya mengikatkan tali kekang pada batang pohon, menyapu debu dari bajunya, lalu menghampiri Zain Abidin.
Najib: Assalamu'alaikum.
Zain: Wa'alaikum salam (Dia memalingkan muka dan bergumam): Damai kita terima, tetapi keunggulan orang lain? Nanti dulu.
Najib: Apakah di sini tinggal Aminah Divina?
Zain: Ini hanya salah satu tempat tinggalnya yang banyak. Dia tidak tinggal di mana pun, namun hadir di setiap tempat.
Najib: Saya sudah meminta keterangan dari banyak orang, tetapi tak seorang pun mengetahui bahwa rumah tinggalnya banyak.
Zain: ini membuktikan bahwa para pemberi keterangan itu orang-orang yang tidak melihat, kecuali dengan telinganya. Aminah Divina ada di mana-mana (dia menunjuk ke timur dengan tongkatnya), dan dia mengembara di perbukitan dan lembah ngarai.
Najib: Apakah ia akan kembali kemari, hari ini?
Zain: Apabila Tuhan menghendaki, ia akan kembali nanti.
Najib: (Mengambil tempat duduk di atas sebuah batu di depan Zain, sambil menatapnya): Janggutmu menandakan bahwa engkau berasal dari Persia.
Zain: ya, saya lahir di Nahawand, dibesarkan Shizar dan menerima pendidikan di Nisabour. Saya telah berkelana menjelajahi kawasan timur dan barat dunia, lalu kembali kemari, sebab merasa asing di mana-mana.
Najib: Kita sering menjadi orang asing bagi diri sendiri!
Zain: (Mengelakkan kata-kata najib): Sungguh, aku telah berjumpa dan berbincang-bincang dengan ribuan orang, dan tiada menemukan seorang pun yang tidak merasa telah puas dengan lingkungannya, membatasi diri pada penjara-penjara sempitnya sebagai satu-satunya ruang yang mereka kenal dan lihat di dunia yang luas ini.
Najib: (Menerjemahkan kata-kata Zain). Bukanlah manusia secara wajar terikat pada tempat kelahirannya?
Zain: Orang yang terbatas oleh ruang lingkup hati pikirannya cenderung mengintai apa yang terbatas juga dalam kehidupan, dan yang rendah wawasan, tidak dapat melihat lebih dari satu langkah ke depan pada jalan yang ditempuhnya, tidak pula lebih dari satu langkah dari tembok tempat ia menyandarkan bahu.
Najib: Tidak semua di antara kita mampu melihat dengan mata batin akan makna kehidupan, dan sungguh kejam menuntut para orang lemah wawasan agar melihat yang buram dan jauh.
Zain: Engkau benar, tetapi tidakkah kejam memeras minuman dari anggur muda?
Najib: (Setelah diam sejenak renungan): Sudah bertahun-tahun aku mendengar cerita tentang Aminah Divina. Saya terpukau oleh kisah-kisah ini, berniat hendak menjumpainya dan mengetahui tentang keajaiban dan kegaibannya.
Zain: Tidak ada orang di dunia ini yang mampu memiliki keajaiban Aminah Divina, sebagaimana tidak ada manusia yang akan mampu mengembara di dasar samudera, seolah berjalan dalam taman.
Najib: Maaf, aku belum menerangkan maksudku dengan jelas. Aku tidak akan mampu mendapatkan kegaiban Aminah Divina yang tak terungkap bagiku sendiri. Harapanku yang utama adalah, agar ia sudi menceritakan kisah maksudnya ke dalam kota Iram, Kota Tiang-tiang Agung, dan bagaimana keadaan segala sesuatu yang ditemukannya dalam Kota Emas Itu.
Zain: Engkau hanya perlu tegak dengan penuh kesungguhan hati di depan pintu dunia impiannya. Jika pintu terbuka, engkau akan mencapai tujuanmu, dan bila tidak terbuka, maka kesalahan terletak pada dirimu sendiri.
Najib: Aku tidak menangkap arti kata-katamu yang aneh itu.
Zain: Sederhana saja. Amat bersahaja dibandingkan dengan karunia besar yang bakal engkau terima apabila engkau berhasil. Aminah Divina memahami lebih banyak tentang peri keadaan manusia ketimbang apa yang mereka ketahui tentang diri mereka sendiri, dan dia dapat menangkap dalam sekilas pandang segala sesuatu yang tersembunyi dalam kalbu mereka. Jika ia menganggapmu pantas, ia akan senang sekali berbincang-bincang denganmu dan membawamu ke jalan yang benar, menuju cahaya pencerahan. Apabila tidak, ia akan berpaling darimu, seolah engkau bukan apa-apa.
Najib: Apakah yang harus kulakukan agar dapat membuktikan diriku patut menerima wejangannya?
Zain: Tiada gunanya dan membuang waktu saja untuk mencoba menghampiri Aminah Divina melalui sekedar kata-kata atau tingkah laku, sebab ia tidak mendengar atau pun melihat. Tiada melalui pendengaran batin dan penglihatan jiwanya ia akan mengetahui apa yang tidak engkau lakukan.
Najib: Betapa arif dan indahnya kata-katamu!
Zain: Andaikata aku harus bicara tentang Aminah Divina selama seabad, apa yang kututurkan tidak lain dari sebuah senandung seorang bisu, yang sia-sia menyanyikan lagu keindahan.
Najib: Apaklah engkau tahu di mana wanita yang ganjil ini lahir?
Zain: Jasadnya dilahirkan di kawasan Damaskus, tetapi keberadaannya yang lain, yang lebih mulia dari jasmani, dilahirkan dari dada Tuhan.
Najib: Bagaimana tentang orangtuanya?
Zain: Apakah itu penting? Dapatkah engkau memelajari sesuatu wujud secara benar hanya dengan menelaah lapis luarnya? Dapatkah engkau meramalkan bagaimana rasa anggur, hanya dengan melihat seratnya?
Najib: Engkau bicara benar. Namun, tentulah ada hubungan antara ruhani dengan jasmani, sebagaimana ada hubungan antara badan dengan lingkungan terdekatnya, dan manakala aku tidak memercayai unsur kebetulan, aku yakin bahwa suatu pengenalan terhadap latar belakang Aminah Divina akan berharga bagi saya dalam menjadi rahasia hidupnya.
Zain: Untaian kata yang bagus! Saya tidak mengetahui sesuatu tentang ibunya, kecuali bahwa dia meninggal ketika melahirkan Aminah, anak tunggalnya. Ayah Aminah adalah Syekh Abdul Ghani, ahli nujum tunanetra yang termasyhur, yang dianggap keramat dan diakui sebagai imam dalam bidang ilmu gaib pada zamannya.
Semoga Tuhan menerimanya di sisi-Nya! Syekh Abdul Ghani mengasihi putrinya sampai ke tulang sumsum, dan mendidiknya dengan sangat teliti serta mencurahkan segala kandungan hatinya ke dalam hati putrinya. Seiring dengan tumbuhnya si gadis, dia berjerih payah benar agar putrinya itu mewarisi segenap ilmu dan kebijaksanaan yang dimilikinya.
Sesungguhnya, ilmu yang luas dan dalam itu belum seberapa bila dibandingkan dengan ilmu dan kearifan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada Aminah sebagai pembawaannya sejak lahir. Mengenai putrinya, Syekh itu berkata: “Dari dunia gelapku yang getir, terbitlah sebersit cahaya agung yang menyinari jalan hidupku selama hayat.”
Ketika Aminah berumur dua puluh tiga tahun, ayahnya membawanya berziarah, dan ketika mereka sedang menyeberangi gurun pasir Damaskus menuju tanah tak bertuan, dan kelap-kelip cahaya kota terakhir lenyap di belakang mereka, sang ayah dihinggapi penyakit demam dan meninggal dunia dalam perjalanan.
Aminah menguburkannya dan menunggui makamnya selama tujuh hari tujuh malam, dan masih berkawan sabda dengan ruhnya selama itu, serta menanyakan berbagai rahasia terpendam dalam jiwanya. Pada malam yang ketujuh ruh sang ayah membebaskannya dari penjagaan dan menyuruhnya berjalan ke arah tenggara; perintah ini dipatuhinya.
(Zain berhenti bicara, menerawangkan pandangan ke cakrawala jauh, dan setelah beberapa saat melanjutkan):
Aminah selanjutnya menempuh perjalanan dan menerobos berbagai kesulitan hingga sampai ke daerah jantung samudera pasir, yang disebut orang dengan nama Robh el Khali, suatu tempat sepanjang sepengetahuanku belum pernah dilalui kafilah.
Beberapa pengelana, menurut kata orang, pada zaman permulaan agama Islam pernah sampai ke tempat itu. Pada peziarah tempat suci itu menduga Aminah telah tersesat dan mereka berdukacita karena mengira wanita muda itu telah meninggal karena kelaparan, dan setelah kembali dari perjalanan mereka mengisahkan duka cerita itu kepada penduduk Damaskus.
Semua orang yang pernah mengenal Syekh Abdul Ghani dan putrinya yang luar biasa itu meratapinya, tetapi dengan berlalunya tahun demi tahun, mereka pun melupakannya. Lima tahun kemudian Aminah Divina muncul di kota Musil.
Karena arif bijaksana, kekayaan ilmu dan kecantikannya yang serba gaib, kehadirannya menakjubkan laksana bintang cemerlang yang jatuh dari langit biru kelam. Najib: (Memotong, walaupun jelas tertarik sekali pada kisah Zain): Apakah Aminah mengungkapkan siapa dirinya kepada orang-orang?
Zain: Dia tidak merahasiakan sesuatu pun tentang dirinya. Dia tegak tanpa cadar di hadapan para imam dan kaum cendikiawan, berbicara tentang masalah-masalah keilahian dan keabadian, serta menggambarkan perihal keadaan Kota Tiang-tiang Agung, secara demikian fasih dan menarik, sehingga membuat pendengarnya terpana terpakau, dan setiap hari jumlah pengikutnya semakin banyak.
Orang-orang arif-bijaksana kota itu menjadi iri dan mengadu kepada Amir, yang kemudian memanggil Aminah agar menghadap. Ketika wanita itu muncul, Amir memberinya sebungkal emas dan memintanya meninggalkan perbatasan kota. Aminah menolak emas itu, dan seorang diri ia meninggalkan kota itu di bawah selubung malam.
Ia berjalan melalui Istambul, Damaskus, Homs dan Tripoli, dan di setiap kota ia menyalakan cahaya di dalam hati sanubari orang-orang yang berkerumun di sekitarnya dan tertarik oleh daya gaibnya. Namun, para imam di setiap kota menentangnya, dan pengucilan yang berulang-ulang menjadi nasibnya.
Akhirnya, setelah memutuskan menjalani terpencilnya dia datang ke tempat ini beberapa tahun yang lalu. Dia tidak meninggalkan apa-apa di dunia ini, kecuali kasih Tuhan dan kesempatan samadi menghayati kegaiban Tuhan.
Ini hanya merupakan gambaran kecil riwayat Aminah Divina. Tetapi daya kemampuan yang diberikan oleh Tuhan kepadaku untuk memahami sesuatu tentang kehadirannya sebagai suri teladan itu adalah daya yang sama juga, dan dalam luapan perasaan yang melimpah-limpah, aku tak mengambarkannya dalam kata-kata duniawi akan kegaiban Aminah Divina itu. Manusia mana yang sanggup mewadahi seluruh kebijaksanaan di sekitar dunia ini dalam satu piala?
Najib: Aku bersyukur dan berterima kasih atas keterangan yang menarik dan amat penting darimu. Keinginanku untuk menjumpainya semakin kuat sekarang.
Zain: (Mengamati Najib dengan pandangan yang seolah menembus). Engkau orang Nasrani, bukan?
Najib: Ya, saya dilahirkan sebagai orang Kristen. Namun, dengan penuh penghormatan kepada segenap kakek-moyangku, yang mewariskan padaku sebuah agama maupun sebuah nama, aku harus menambahkan bahwa apabila kita tidak memandang berbagai agama itu, kita akan mendapati diri bersatu dan menikmati satu kepercayaan dan agama yang agung, dalam rangkuman persaudaraan.
Zain: Engkau bertutur bijaksana, dan mengenai agama berpadu satu, tiada seorang pun yang lebih tahu kecuali Aminah Divina, yang laksana embun pagi menetes dari angkasa dan bertebaran bagai intan permata di atas dedaunan aneka warna, dari segala bunga. Ya, dia serupa embun pagi.
(Zein berhenti saat itu dan melihat ke arah timur, sambil memasang telinga cermat sekali. Lalu berdiri, memberi isyarat kepada Najib agar siaga, sambil berbisik gembira): Aminah Divina telah tiba! Semoga kemujuran menyertaimu!
Najib: (dalam bisikan yang tertahan) Bulan-bulan panjang penantian mungkin segera berbuah. (Najib meletakkan tangan pada dahi, seolah meneduhkan syaraf yang gelisah, dan dia merasakan suatu perubahan dalam getaran suasana. Ingat akan kata-kata Zain tentang adanya kemungkinan kegagalan, siratan gembira dalam sikap berubah menjadi keprihatinan yang mendalam, tetapi sekarang dia diam tak bergerak laksana patung batu pualam).
(Aminah Divina masuk dan berdiri di depan kedua pria itu. Dia mengenakan gaun sutera panjang, raut wajah, tingkah laku dan busananya membuatnya menyerupai dewi pujaan zaman silam, bukannya seorang wanita Timur masa sekarang.
Mustahil menebak usianya, meski dengan perkiraan saja, karena wajahnya, walau muda tidak mengungkapkan sesuatu, dan matanya yang dalam tampak memantulkan seribu tahun kebijaksanaan dan penderitaan. Najib dan Zein tetap tak bergerak, seolah sedang berada di dekat salah seorang utusan Tuhan.