“Teman, maaf jika mengusikmu dalam keadaan yang seperti ini,” ujarnya berlalu sambil membenamkan secarik kertas putih dibungkus plastik transparan. Pemuda itu kemudian berjalan pergi di balik derasnya air hujan yang mengguyur.
Ketika sudah tidak terlihat lagi di antara makam itu, akupun menghampiri kuburan tadi karena rasa penasaran. Kulihat dengan seksama ada nama di atas batu nisan.
“Ahmad Zidanu Al Amerikia. Lahir: New York 11-7-1966, Wafat: 7-11-1999”. Penasaranku kian bertambah saat kulihat gundukan bekas kertas yang diselipkan pemuda yang baru saja berlalu. Kukais-kais tanah itu dan kuambil isinya. Setelah kuambil, aku mencari tempat yang agak teduh untuk membacanya.
Setelah kuambil kertas dalam bungkusan plastik itu, aku tak sabar untuk membacanya. Perlahan-lahan aku membukanya. Kertas itu ditulis lengkap bacaan salam pembuka dan penutupan salam. Kira-kira isinya satu halaman kwarto. Bunyinya seperti ini:
“Assalamu’alaikum.
Wahai saudaraku yang masih muda dan sedang dilanda kaya. Semoga Allah merahmatimu dan tidak melupakan saudaramu. Semoga surat ini tidak mengusik tidur tenang di istanamu yang berbantalkan beludru. Ruang tidurmu semerbak wewangian. Dalam beberapa bulan terakhir ini mataku tak bisa terpejam sepertimu di sana. Sepanjang waktuku dipenuhi dengan duka dan nestapa.
Aku bukan mengadu kepadamu. Aku hanya menceritakan sebagian keluh kesahku. Jika dibandingkan dengan hartamu, keadaanku ini masih jauh dari seujung kuku kekayaanmu yang melimpah. Kamu tinggal di atas tanah yang dibangun dengan marmer. Dinding rumahmu kokoh dan di setiap sudut rumah terpasang dengan kamera CCTv.
Setiap tamu yang datang, sudah terlihat dari balik layar televisi. Sedangkan aku tinggal di atas tanah dengan permukaan rata apa adanya. Di rumahku tidak ada CCTv karena dinding rumahku banyak berlubang. Hampir setiap dinding bisa untuk mengintip orang-orang yang berada di luar rumahku. Jika hujan, aku harus bergeser, karena air cucuran atap jatuh merata ke atas tilam dan tempat tidurku.
Sudah seringkali aku mengirim surat kepadamu, tetapi tidak pernah ada balasan atau kabar beritamu. Sungguh aku tidak pernah terbesit bahwa kamu tidak mau mengenalku lagi. Aku hanya berbaik sangka kepadamu jika kamu sedang sibuk atau urusan lain. Aku tahu, buruk sangka juga tidak akan memperbaiki keadaanku dan keadaanmu.
Aku tahu, cadangan uang dan bahan pangan ada di gudang kekayaanmu. Dan aku yakin kamu tidak pernah kekurangan makanan atau pangan. Semua ada padamu dan berkelimpahan. Berbeda denganku yang harus membanting tulang siang dan malam untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupku. Andai saja aku tak terlilit utang, mungkin aku sudah bisa membeli AC atau pasang TV kabel.
Kamu memiliki harta yang lebih, namun tidak juga melihat saudaramu yang masih kekurangan. Aku sedikit marah kepadamu, karena kamu telah lupa jika kekayaan yang ada padamu sekarang merupakan titipan Tuhan. Sementara kamu bergelimang harta dan tahta, namun kamu lupa saudaramu seiman yang bercucuran keringat dan air mata.
Sudahlah, aku tak perlu menyesali nasib atau takdirku. Yang pasti aku sudah berusaha untuk menjadi manusia yang jujur dan lurus untuk mencukupi kebutuhan hidupku. Karena jika aku memarahimu, itupun tidak akan menguntungkanku atau merugikanmu. Juga tidak akan menggerakanmu menjebol gudang emas batanganmu atau bahan panganmu yang kemudian dibagikan sedikit kepadaku. (bagian kedua)