Rupanya, berulang kali aku kirimkan surat kepadamu, kamu tidak pernah membacanya. Suratku hanya sampai di tangan ajudan dan pengawalmu yang sombong dan angkuh. Tapi lupakanlah, aku tetap menganggapmu seperti kita awal dahulu bertemu.
Suratku ini kutulis untuk kesekian kalinya dan kukirimkan langsung kepadamu di atas batu nisanmu. Sebab aku tahu, jika kukirim surat padamu, tak satupun sampai di tanganmu. Jika ingin menjumpaimu, aku harus menunggu jadwal giliranku.
Sekarang, aku antar surat ini ke kuburanmu setelah beberapa hari lalu aku mendengar tentang kabar kematianmu. Rasanya ini seperti awal-awal kemarin kita bertemu. Kamu dulu lugu dan tidak mengenal ruang dan waktu.
Semenjak kamu menjadi orang kaya dan diagungkan manusia, kamu lupa jika kematian itu tidak mengenal usia dan status. Kamu lupa saat pertemuan awal kita sekitar 25 tahun lalu. Kamu selalu menyebut dan akan mengingat saudara-saudaramu yang susah dan miskin akan dibantu.
Sampai kudatangi kuburmu, sebelum ajal menjemputmu, 25 tahun berlalu, kamu belum pernah mengunjungiku. Sungguh sedih, aku mendengar kabar kematianmu.Tapi sudahlah, aku berusaha untuk melupakan semua itu.
Lebih sedih lagi ketika aku melihat kuburanmu yang tidak terawat dan tumbuh lumut dan rumput liar, tidak ada yang merawat kuburanmu. Hanya aku di sini yang dekat dengan tempat tidur panjangmu. Hanya aku yang setiap hari melihat kamu dan setiap seminggu sekali kuziarahi dirimu.
Sungguh tak pernah kulihat lagi orang-orang yang pernah dibantumu selama hidup mampir sebentar untuk mendoakanmu. Hanya aku yang selalu menziarahimu untuk mengenangmu dan mengingat kematianku.
Wassalamu’alaikum”
Dari sahabatmu suka dan duka
Usai membaca kertas dalam bungkusan plastik itu, aku melihat dari kejauhan pemuda yang tadi duduk tepekur di atas kuburan Zidanu. Cepat-cepat aku kembalikan bungkusan dalam plastik itu ke bawah batu nisan. Tidak lama kemudian aku buru-buru meninggalkan kuburan itu. Tak kulihat orang lain selain pemuda yang tadi itu. (bagian ketiga, habis)