Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.
Ini terjadi dalam dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau dalam keadaan tenang (Scarlet, 2018).
Hipertensi merupakan penyakit yang paling sering dijumpai di negara maju maupun negara berkembang. Salah satunya di Indonesia dan termasuk ke dalam kelompok penyakit penyebab kematian.
Bahaya penyakit hipertensi sangat beragam dan apabila tidak segera ditangani maka akan menyebabkan komplikasi dan mengganggu fungsi organ lainnya (Irawan H, 2017).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh penderita hipertensi agar terhindar dari bahaya komplikasi yaitu dengan menggunakan terapi bekam (Akbar & Mahati, 2013).
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 jumlah kasus hipertensi ada 839 juta dan diperkirakan menjadi 1,15 milyar pada tahun 2025, yaitu sekitar (29%) dari jumlah penduduk di dunia.
Sedangkan di Indonesia pada tahun 2019 angka kejadian hipertensi sebesar 185.857 jiwa. Diperkirakan juga setiap tahun ada 9,4 juta orang meninggal akibat hipertensi dan komplikasi (WHO, 2019).
Hasil Riskesdas (2018) menunjukkan angka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran secara nasional pada penduduk indonesia usia >18 tahun sebesar 34,11%, tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), dan terendah di Papua sebesar (22,2%).
Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%). Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebesar 63.309.620 orang.
Sedangkan angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian (Riskesdas, 2018). Angka prevalensi hipertensi di Jawa Timur cukup tinggi yaitu sebesar 22.71% atau sekitar 2.360.592 penduduk.
Dengan proporsi laki-laki sebesar 18.99% (808.009 penduduk) dan perempuan sebesar 18.76% (1.146.412 penduduk) (Kemenkes RI, 2018).
Menurut Dinas Kesehatan Banyuwangi Jawa Timur hipertensi termasuk ke dalam 10 penyakit terbesar yang terjadi di kabupaten Banyuwangi Jawa Timur dan didapatkan 22.839 kasus hipertensi (Dinkes Banyuwangi, 2018).
Sedangkan penderita terbanyak nomor 1 terdapat di wilayah kerja puskesmas Sambirejo dengan 3.692 kasus hipertensi (Dinkes, 2018). Hipertensi tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang cukup lama.
Tekanan darah tinggi yang tidak mampu terkontrol untuk periode tertentu dan akan menyebabkan tekanan darah tinggi menjadi permanen yang disebut dengan hipertensi (Perki, 2015).
Hipertensi dapat disebabkan oleh obesitas (kegemukan), makanan tinggi garam, stres, minuman beralkohol, kopi, faktor genetik, usia.
Dapat juga disebabkan oleh penyakit lain seperti ginjal, jantung, kelainan hormonal, ataupun efek dari penggunaan obat (Bumi, 2017).
Faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat memengaruhi respon vasokointrikstor pembuluh darah sehingga aliran darah ke ginjal menurun dan berakibat di produksinya enzim renin.
Enzim ini merupakan enzim yang diproduksi di ginjal yang berfungsi untuk mengatur volume cairan ekstraseluler. Renin dapat merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian di ubah menjadi angiotensin II dengan ACE.
Angiotensin II sebagai vasokonstrikstor yang kuat yang dapat merangsang sekresi aldosteron. Sehingga menyebabkan retensi natrium dan air dapat mengakibatkan peningkatan volume cairan intra vaskular yang menimbulkan kondisi hipertensi.
Jika penderita tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur akan menyebabkan terjadinya stroke, serangan jantung, kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, mata, dan bahkan menyebabkan kematian (Black dan Hawks, 2014).
Hipertensi dapat dicegah melalui pengobatan farmakologis maupun non farmakologis. Pengobatan farmakologis menggunakan obat-obatan antihipertensi seperti Diuretika, Penghambat Adrenergik, dan Calsium Channel Blocker (Putri, 2018).
Sedangkan pengobatan non farmakologis dapat dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup. Seperti diet yang dianjurkan, mengurangi konsumsi garam, olahraga yang cukup, tidak merokok, tidak minum alkohol, mengatur pola makan, ataupun menjalani terapi komplementer (Adi Trisnawan, 2019).
Terapi komplementer yang saat ini populer dan dipercaya masyarakat untuk mengobati hipertensi yaitu terapi bekam (Ekawati, 2016).
Terapi bekam merupakan salah satu terapi komplementer yang berfungsi untuk menurunkan tekanan darah tinggi pada penderita hipertensi (Putra, 2019).
Bekam berefek terhadap hipertensi dengan memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah dan memberikan efek vasodilatasi sehingga tekanan darah turun secara stabil dan menenangkan sistem saraf simpatik.
Efek pada sistem saraf simpatik ini menstimulasi sekresi enzim yang berperan sebagai sistem angiotensin renin. Setelah sistem itu tenang dan aktivitasnya berkurang maka tekanan darah akan turun (Sharaf, 2012).
Bekam menganut teori keseimbangan (homeostatis) pada mekanisme kerjanya terhadap hipertensi. Teori ini menjelaskan bahwa tubuh manusia selalu dalam keadaan seimbang.
Jika salah satu unsur tidak seimbang, maka akan menimbulkan penyakit sehingga bekam akan membantu tubuh menciptakan keseimbangan secara alami.
Bagian yang berperan penting dalam keseimbangan tubuh yaitu garis meridian yang mencakup sistem muskuloskeletal dengan aliran saraf, limfe dan pembuluh darah.
Sistem ini menghubungkan permukaan tubuh dengan organ, organ dengan organ, organ dengan jaringan penunjang, jaringan penunjang satu dengan lainnya, bagian bawah tubuh luar dengan dalam, serta organ tubuh dengan anggota gerak.
Adanya hubungan ini maka terbentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan bereaksi bersama apabila mendapatkan rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.
Melalui garis meridian inilah mengalir energi vital yang bercampur dengan darah yang berfungsi untuk menyeimbangkan fungsi tubuh tersebut (Umar, 2012).
Masyarakat Indonesia sendiri percaya bahwa terapi bekam dapat membantu dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi (Safrianda, 2015).
Hal tersebut juga didukung dengan hasil riset yang dilakukan oleh Hanina dan Yeni (2016) dengan judul penelitian Terapi Bekam terhadap Penurunan Tekanan Darah menyatakan tekanan darah awal pasien hipertensi sebelum dilakukan terapi bekam mencapai 200/90 mmHg dan setelah dilakukan terapi bekam turun menjadi 130 /80 mmHg.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Sardaniah, dkk (2019) dengan judul penelitian Pengaruh Terapi Bekam terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Pondok Pengobatan Alternatif Miftahusyifa Kota Bengkulu juga menyatakan terdapat penurunan tekanan darah sebelum dilakukan bekam 154/96 mmHg dan setelah dilakukan bekam didapatkan nilai rata- rata 127/81 mmHg.
Dari kegiatan melakukan penelurusan hasil riset tentang pengaruh terapi bekam pada penurunan darah penderita hipertensi, serta melihat perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah dilakukan terapi bekam, didapatkan hasil rerata penurunan tekanan darah pada sebagian penderita hipertensi yang melakukan terapi bekam tersebut.
Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk membuat proposal literature review mengenai “Pengaruh Terapi Bekam Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Tahun 2021”.
Silent Killer
Hipertensi merupakan penyakit silent killer yang dapat terjadi tanpa gejala dan dapat menyebabkan komplikasi apabila tidak ditangani dengan cepat.
Hipertensi dapat terjadi karena gaya hidup, obesitas, alkohol, merokok, stres, faktor usia, dan faktor genetik. Pengobatan untuk hipertensi dapat dilakukan secara non farmakologi yaitu dengan terapi bekam (hijamah/oxidant releasing therapy).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi bekam pada penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi. Pencarian literature review ini menggunakan analisis PICOT, dengan database Google Scholar, dan Garuda.
Lalu dipilih artikel yang menggunakan metode quasy eksperimen serta artikel berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Ditemukan 240 artikel, selanjutnya di-screening dan diambil artikel terbitan tahun 2015-2020 didapatkan 52 artikel. Berdasarkan jurnal akhir yang dianalisa sesuai kriteria inklusi dan ekslusi didapatkan 13 artikel.
Kemudian ditinjau kembali berdasarkan artikel nasional dan didapatkan hasil akhir 10 artikel yang ditelaah. Hasil literature review menunjukkan adanya pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan terapi bekam.
Hasil tekanan darah sebelum dilakukan terapi bekam berada dalam kategori hipertensi tingkat I (ringan) 60% dan hipertensi tingkat II (sedang) sebanyak 40%.
Setelah dilakukan terapi bekam berubah menjadi normal 20%, normal tinggi sebanyak 20%, dan hipertensi tingkat I (ringan) sebanyak 60%.
Pemberian terapi bekam sebagai salah satu terapi non farmakologi mampu untuk diaplikasikan dalam menurunkan tekanan daras pada penderita hipertensi. (Dipublikasikan oleh Zahara Syifa Annisa/Rudiyanto/Sholihin, Mahasiswi & Dosen Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan/STIKES Banyuwangi)